Islam Di Nusantara
Bagikan ini :

Islam (di) Nusantara

Tema Islam Nusantara yang diusung dalam muktamar NU ke-33, di Jombang, pada tanggal 1 agustus 2015, memicu maraknya perdebatan pro dan kontra. Hingga muncul asumsi dan tuduhan sebagai islam yang anti Arab, betentangan dengan syariat Islam, hanya milik satu golongan saja, identk dengan Islam Kejawen, dan bahkan ada yang menuduhnya sebagai kedok untuk merusak tatanan moral agama.

Maka Ketua PBNU K.H. Said Aqil Siradj membantahnya dengan tegas dan mengatakan bahwa Islam Nusantara bukanlah agama baru dan bukan pula aliran baru. Islam Nusantara adalah pemikiran yang berlandaskan pada sejarah Islam yang masuk ke Indonesia yang tidak melalui peperangan, tapi melalui kompromi terhadap budaya.

Demikian pula dengan Maulana Habib Luthfi bin Yahya yang menjabat sebagai ketua mustasyar PBNU, juga ikut angkat suara dan membantah fitnah dan tuduhan miring tersebut. Beliau mengatakan, Islam Nusantara adalah ajaran islam yang dibawa ke Nusantra oleh para ulama dari kalangan ahlulbait, keturuna Baginda Nabi SAW, yang berasal dari ajaran Imam Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa bin Muhammad bin ‘Ali Al-‘Uraidhi bin Ja’far Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Sayyidina Husain r.a..

Imam Ahmad Al-Muhajir, semenjak abad ke tujuh hijriah di Hadramaut Yaman, menganut madzhab syafii. Dalam fiqih, Ahlussunah Waljamaah, dalam akidah mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi, dan akhlak atau ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf mu’tabarah yang bermazhabkan Imam Mazhab yang empat.

Di Hadramaut, akidah dan mazhab Imam Al-Muhajir yang Sunni Syafii, terus berkembang sampai sekarang. Dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena ke-mutawatir-an sanad serta kemurnian agama dan akidahnya. Dari Hadramaut Yaman, anak cucu Imam Al-Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam hingga sampai ke “Ufuk Timur”, seperti ke daratan India, kepulauan Melayu, dan termasuk juga Indonesia. Mereka berdakwah mengenalkan kalimat syahadah dengan pendeketan budaya, seperti pementesan wayang. Mereka berjuang dengan kelembutan tanpa mengangkat senjata, tanpa kekerasan, dan tanpa pasukan. Mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Ada juga diantara mereka yang menuju daerah Afrika seperti Ethopia hingga kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.

Jadi Islam Nusantara tak lain adalah Ahlussunah Waljamaah yang disingkat dengan Aswaja, yakni ajaran Islam sebagaimana yang dianut oleh Imam ahmad Al-Muhajir yang bermazhab Syafii dan yang dibawa oleh para Walisanga ke Nusantara. Tahlilan, ratiban, mauludan, ziarah kubur, haul, peringatan nisyfu Sya’ban, peringatan nuzulul Qur’an adalah termasuk di antara amaliah Ahlussunah Waljamaah khas Indoseia atau khas Nusantara yang dibawa oleh para habib serta ulama-ulama terdahulu seperti para Walisanga.

Namun demikian, ada pula kelompok-kelompok yang tidak menyukai amalan-amalan tersebut dan bahkan mem-bid’ah-kannya dengan dalih pemurnian akidah Islam, seperti di antaranya kelompok Wahabi yang berkembang subur di Arab Saudi, saat dipegang oleh ulama-ulama dan para habib Aswaja, semua amaliahnya sama persis dengan amaliah yang ada di Indonesia, yakni ada ratiban, mauludan, tahlilan, ziarah kubur, dan haul. Dengan dihabisinya para habib dan ulama Aswaja serta dihancurkannya makam-makam para wali dan juga situs-situs peninggalan peradaban Islam di sana, akhirnya amalan-amalan tersebut lama kelamaan terkikis dan akhirnya menjadi asing.

Tak hanya sampai disitu, bahkan makam Nabi SAW pun juga sempat akan dibongkar oleh mereka. Tapi, Alhamdulillah waktu itu ulama-ulama Nusantara yang dimotori oleh K.H. Abdul Wahab  Chasbullah membentuk sebuah komite yang dinamai Komite Hijaz yang tugasnya antara lain adalah melakukan diplomasi dengan Raja Saud atas rencana pembongkaran tersebut. Dan berkat kegigihan dan usaha keras mereka diterima oleh Raja Saud dan makam Nabi pun tidak jadi dibongkar.

Islam Nusantara, sebagaimana spirit Komite Hijaz -yang menjadi cikal bakal terbentuknya organisasi NU-, selalu siap mengawal keberlangsungan tradisi-tradisi Aswaja termasuk diantaranya menjaga makam-makam para Wali Allah dan juga situs-situs peninggalan peradaban Islam yang ada di Nusantara ini supaya tetap terjaga. Oleh karena itu jangan berprasangka buruk bahkan sampai berani memvonis sesat, menyesatkan, murtad, atau kafir terhadap para pendukung Islam Nusantara.

Semoga kita semua dibersihkan hatinya oleh Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang serta tidak ikut-ikutan untuk mengkafir-kafirkan atau menyesat-nyesatkan. [Wallahu a’lam]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *